Rabu, 12 Mei 2010

DUA WAJAH SOLIDARITAS


Dua Wajah Solidaritas

“Simpathy, compassion, or concern are directed towards others in virtue of their suffering, misery, pain or travail.” Lawrence A. Blum.

Manusia seakan tidak berdaya menghadapi penderitaan yang dialami sesamanya. Nalarnya lumpuh dan tak mampu menemukan kata-kata yang tepat buat melukiskan tragedi yang sedang terjadi. Dirinya diliputi emosi yang mendalam, simpati yang menggelora, dan hasrat yang menggebu untuk menolong. Demikianlah, kehancuran dan derita akibat bencana banjir telah melahirkan rasa simpati yang mendalam, sikap bela rasa dan kepeduliaan teramat kuat kepada para korban. Seluruh sumbangan, ucapan turut berduka cita atau kehadiran fisik di tengah-tengah isak tangis dan derai air mata telah melebur sekat-sekat subjek – objek, pandangan politik golongan kita versus golongan lain atau ajaran agama yang picik dan murahan tentang kaum yang terselamatkan versus kelompok kafir dan terkutuk. Kita adalah sama saudara, kita adalah sahabat. Dalam derita sesama kita menemukan derita kita sendiri.

Solidaritas memang melenyapkan seluruh sekat dan perbedaan di antara kita. Bantuan moril dan materil akan terus mengalir ketika musibah atau bencana alam menimpah kelompok masyarakat tertentu. Di sini kita teringat pada apa yang dikatakan Lawrence A. Blum, bahwa solidaritas diarahkan kepada orang lain karena keadaan penderitaan yang sedang dialaminya (1990:12).

Demikianlah, ketika bencana alam menimpa, sikap yang paling tepat untuk diungkapkan adalah solidaritas. Bagi Robert A. Sirico (Majalah Religion & Liberty, edisi September dan Oktober 2001, Vol. 11, No. 5), solidaritas adalah “the acceptance of our social nature and the affirmation of the bonds we share with all our brothers and sisters.” Jelas bagi Sirico, solidaritas dapat ditimbulkan oleh perasaan simpati atau bela rasa (compassionate) atas keadaan penderitaan yang dialami orang lain. Tapi perasaan ini saja tidak cukup. Solidaritas haruslah merupakan pengakuan akan hakikat diri kita sebagai mahkluk sosial yang tidak ingin membiarkan orang lain berkembang tanpa bantuan dan kerja sama kita, karena kesadaran bahwa kita pun tidak mungkin hidup dan berkembang tanpa bantuan orang lain. Sisi lain dari solidaritas adalah penegasan bahwa kita dan orang lain, dalam situasi penderitaan atau situasi normal, berbagi ikatan yang sama sebagai saudara. Bersolider dengan orang lain menunjukkan bahwa we are all brothers and sisters. Sikap solider sekaligus menegaskan bahwa orang lain, siapa pun dia, senantiasa menampakkan diri kepada kita sebagai “wajah” yang menuntut perhatian (care), perawatan (nurturing), dan tanggung jawab (Emmanuel Levinas: 1997: 96).

Wajah adalah bagian tubuh yang langsung memampakan diri ketika kita berelasi dengan orang lain. Tidak peduli dalam keadaan riang-bersemangat atau sedih penuh derita, wajah yang menampakan diri selalu merupakan realitas normatif yang menuntut keterlibatan dan tanggung jawab. Tentu wajah memelas penuh derita karena suatu bencana alam atau kesulitan hidup akan menuntut keterlibatan yang lebih besar dari pada wajah yang penuh canda dan tawa.

Menyitir pemikiran Dariusz Dobrzanski dalam artikelnya berjudul The Concept of Solidarity and Its Properties (2003), solidaritas yang kita tunjukkan kepada sama saudara korban banjir dan bencana-bencana lainnya hanyalah satu sisi dari dua wajah solidaritas. Wajah pertama solidaritas adalah wajah deskriptif, yakni fakta objektif adanya penderitaan yang kemudian memicu perasaan solidaritas kita. Inilah wajah penuh derita dan air mata yang menampakan diri kepada kita ketika terjadi bencana alam. Wajah deskriptif ini tidak akan bertahan lama, terutama ketika bencana alam dan penderitaan telah mampu diatasi. Kalau kita hanya memiliki wajah solidaritas deskriptif, maka kita akan kehilangan rasa solidaritas dalam situasi normal ketika wajah menampakan dirinya dalam keadaan sukacita dan keceriaan. Padahal, merujuk fenomenologi wajah Emmanuel Levinas, solidaritas tidak boleh berhenti karena orang lain adalah wajah, yakni saudara yang selalu meminta kehadiran kita untuk berkembang bersamanya.

Tantangan yang kita hadapi sebagai bangsa saat ini adalah mewujudkan wajah kedua solidaritas, yakni wajah normatif. Wajah solidaritas normatif menegaskan bahwa dalam situasi dan kondisi apapun, relasi antarmanusia haruslah merupakan sebuah realitas normatif yang menuntut tindakan-tindakan yang sifatnya normatif pula. Wajah solidaritas normatif mengundang sekaligus menuntut kita untuk menerima orang lain apa adanya, tidak peduli apa suku, etnis atau agama orang itu. Wajah solidaritas normatif menantang kita untuk dapat bekerja dengan orang lain, menerima mereka sebagai saudara dan bersedia berkembang bersama, termasuk ketika salah satu dari kita mengalami bencana dan kesusahan hidup. Wajah solidaritas normatif mampu meluluhkan sekat-sekat perbedaan dan mengumpulkan seluruh umat manusia sebagai saudara yang mengusahakan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bersama.

Kalau mau jujur, bangsa kita sedang berada dalam krisis solidaritas normatif. Kita termasuk orang yang cepat menunjukkan solidaritas kita kepada sesama yang tertimpa bencana alam. Tapi setelah itu, apakah kita masih mampu menunjukkan solidaritas kepada jutaan anak miskin negeri ini yang tidak mampu bersekolah? Apakah para pejabat kita cukup memiliki solidaritas dengan rakyatnya yang sedang kesulitan ekonomi dengan tidak melakukan korupsi atau tindakan-tindakan yang hanya memperkaya diri sendiri? Apakah praktik peradilan memiliki simpati dan solidaritas kepada rakyat kecil yang tidak mampu membayar pengacara? Apakah para wakil rakyat mampu menunjukkan solidaritas kepada masyarakat dengan tidak meminta kenaikan gaji, dana kunjungan dan konsultasi atau bonus-bonus lainnya? Apakah masing-masing kita juga memiliki solidaritas dengan orang lain yang berbeda etnis, bahasa dan agama dan pandangan politik dengan kita?

Sebagai sebuah keutamaan, solidaritas menuntut komitmen kepada kebebasan (freedom) dan keadilan (justice). Setiap orang yang berada dalam penderitaan, entah karena bencana alam, kemiskinan, atau karena statusnya sebagai kaum minoritas sebenarnya sedang berada dalam keadaan ketidakbebasan, paling tidak physical freedom. Wujud solidaritas kita adalah memperjuangkan atau menciptakan terwujudnya kebebasan supaya dia dapat bertumbuh dan mengembangkan seluruh potensi dirinya. Hanya melalui jalan inilah kita dapat memastikan bahwa keadilan pun tercipta di negara ini. Bertindak mementingkan diri sendiri lewat korupsi, kolusi dan nepotisme, mangkir dari tempat kerja bagi pejabat publik, indisipliner, perilaku melawan nilai-nilai moral, atau memaksakan keyakinan dan pandangan politik kepada orang lain hanya akan melanggengkan keadaan ketidakbebasan dan ketidakadilan di republik ini.

Bencana banjir yang melanda Jakarta dan beberapa kota lainnya di Indonesia seharusnya menjadi momentum reflektif untuk menjatuhkan pilihan apakah kita ingin mempertahankan hanya wajah solidaritas deskriptif atau menambahkannya dengan wajah solidaritas normatif. Tentu kita berharap untuk memiliki kedua wajah solidaritas ini sekaligus.Wallahualam![]

Rabu, 13 Januari 2010

PERHATIKAN SUNGAI ANGKONA KITA KAWAN-KAWAN!!


"Kau tak akan pernah lupa.. Aku yakin Kau tak akan pernah lupa. Aku tak perlu menjelaskan alasannya kenapa. Kau, sama seperti Aku tak perlu mendapat penjelasan..."

Berapa panjangkah sungai ini sampai dia tiba di laut?
Berapa banyakkah desa yang diilewatinya?
Mungkin kita tak pernah tahu sampai saat ini jawaban tepatnya.

Yang aku tahu adalah sungai ini adalah tempatku bermain dulu dan sudah menjadi bagian dalam hidupku. Tidak! tak sesederhana itu... Bahkan di dalam darahku dan di seluruh tubuhku, ada bagian dari sungai itu. Sungai ini bukan hanya tempat kita bermain,.. Bukan hanya bagian dalam memori masa kecil kita. Airnya kita pakai untuk minum. Airnya mengairi sawah-sawah kita. Ketika panen padi tiba, kita makan nasi dari yang berasal dari padi di sawah kita, yang kemudian membangun sel-sel dan jaringan di dalam tubuh kita, yang membuat kita ada seperti sekarang ini. Oh.. betapa dia sudah menjadi bagian dari masing-masing kita.

Waktu kita kecil dulu, masih ingatkah kawan-kawan. Gunung-gunung yang tak begitu tinggi itu tampak mengelilingi kita. Saat pagi hari kita berjalan-jalan dan kita bisa memandang gunung2-guning itu berwarna biru. "Hutan" itu ada disana dulunya! Bukan Perkebunan! Bukan Pertambangan! Bukan milik segelintir orang!! Sama sekali BUKAN!!!

Setelah bermain ataupun bekerja di sawah dan di kebun, kita lalu mandi di sungai ini. Kalau kita melihat gunung berwarna putih karena sedang disiram hujan deras maka kita akan berhati-hati. Kita semua tahu bahwa jika di gunung sana hujan deras maka kemungkinan besar air akan meluap. Itu benar adanya. Air yang jatuh di tanah di gunung itu akan terkumpul melalui sungai-sungai kecil dan kemudian bergabung di sungai kita, lalu terus mengalir...

Kita tak pernah takut akan banjir dulunya. Yang kita khawatirkan dari banjir paling-paling adalah jika kita baru saja memupuki tanaman kita dan air meluap malam harinya. Tapi kita tak pernah benar-benar takut karena air yang meluap tak akan pernah lebih dari selutut di kebun kita. Tak akan pernah kita kuatir bahwa akan ada banjir lumpur. Iya, itu benar jika saja keadaan sekarang masih sama dengan keadaan saat dulu itu.

Kini, perkebunan kelapa sawit terus saja merambah di setiap gunung yang ada, bahkan gunung-gunung yang di atas itu. Kini, di gunung sana ditanami pohon-pohon kecil yang usianya tak lama.
Kini, mungkin akan dibangun tambang nikel di atas sana.
Kini... nasib pohon-pohon besar semakin terancam dan hutan hampir habis.
Tak lama lagi bencana akan datang....

Selama ini pohon-pohon telah menjaga kita dari berkurangnya air pada saat kemarau. Aku masih ingat waktu kelas 3 SD dulu kemarau sangat panjang pernah kita rasakan. Tapi, Apakah Sungai Angkona menjadi kering? Sama sekali tidak. Air terus mengalir. Selama itu pohon-pohon telah menjaga kita dari banjir dan longsor... Akar-akar pohon dan daun-daunnya telah membuat air hujan tak langsung menghantam tanah di gunung dengan kuat, membuat terjadinya penguapan, mengikat butir-butir tanah, menghasilkan lubang-lubang tempat air merembes masuk ke dalam tanah.. Daun-daun pohon yang telah gugur pun memperlambat gerak air yang mengalir di atas tanah dan membuat cacing-cacing dan binatang tanah lainnnya dapat hidup sehingga banyak lubang di tanah yang artinya infiltrasi air lebih besar.

Jika pohon-pohon itu ditebangi, dapatkah kelapa sawit dan tanaman yang entah apa itu melakukan hal yang sama?
Jika pohon-pohon itu ditebangi dan digantikan dengan tambang dimana hampir tak ada tanaman dalam areanya, masih dapatkah kita merasa aman di bawah sana?

Belum sama sekali! Itu belum semuanya!
Bagaimanakah jika suatu tambang didirikan disana? Akan dibuang kemanakah limbahnya, sisa-sisa yang berbahaya itu?
Sepertinya kita semua sudah tahu jawabannya..

Sebenarnya sangat sedih ketika berjalan-jalan di kebun di pagi hari dan tak bisa kulihat lagi burung-burung jalak yang jumlahnya ribuan, burung kepodang yang biasanya banyak, burung keket, burung berwarna hitam putih dengan ekor panjang, burung berwarna merah kuning dengan ekor panjang, burung anai-anai, burung cakurrak dan begitu banyak jenis burung dalam jumlah yang banyak yang dulu sering aku lihat di dalam kebun.. (belum lagi burung langka yang kepalanya besar yang kita namakan burung 'halo' _Rangkong_Red)

Kemanakah kalian semua? Apakah kalian mati tanpa penerus?? Ataukah kalian harus lari terus menjauh karena rumah kalian dihancurkan???

Begitu banyak yang indah yang hilang...
Begitu banyak bahaya yang akan datang...
(bahkan disaat kita belum berbicara, kemungkinan masalah-masalah sosial yang akan datang)

Akhir kata (walaupun masih begitu banyak yang ingin kusampaikan):

"Jika untuk Membuat Pendapatan Daerah Semakin Besar dengan Memberikan Keleluasaan Investasi yang Begitu Besar maka Kita Tak Perlu Melihat Dampak-dampak Lain Selain Pertumbuhan APBD yang Tinggi...

MAKA AKU BERKATA TIDAK UNTUK SEMUA ITU...!!!

Sekali Lagi Kawan-Kawanku..

"Perhatikan Sungai Angkona Kita!!"